Belajar dari ‘Ali dan Fathimah..

Mohon maaf jika beberapa topik terakhir mengangkat tema ‘ini’

Semoga tetap banyak ‘ibrah yang bisa diambil…

Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta


Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan

Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..

Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah
tentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut

“Bukan janj-janji”

(mentang-mentang deket Pemilu..)


Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah

chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kisah ini disampaikan disini,

bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an

Kisah ini disampaikan

agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah

bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi

dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu

Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba


(PS. Kembalilah Saudariku…)

25 Comments (+add yours?)

  1. aisar
    Feb 24, 2009 @ 13:15:21

    kita semua memang jauh dari kesempurnaan teh,
    jauh dari keteladanan Rasulullah dan para sahabat..

    thanks for the inspiring story..

    Reply

    • aisyahkecil
      Feb 24, 2009 @ 17:17:30

      @aisar
      kita memang jauh dari kesempurnaan
      -> Tapi kita adalah umat terbaik yang Allah ciptakan dimuka bumi…

      Kalau kata temen,
      “kita memang bukan malaikat, tapi kita diberikan akal pikiran untuk bisa berpikir sebelum bertindak”
      Wallahu ‘alam

      Semoga banyak ibrah yang bisa diambil dari cerita tersebut..

      Reply

  2. adhim
    Feb 24, 2009 @ 15:14:07

    Assalamu’alaikum…af1 teh, boleh nda’ klo artikelna sya cpy ? soalna bagus banget, InsyaAllah tetep sy berikan link asal artikel kok…tpi itupun kalo diizinkan…terimakasih

    Reply

    • aisyahkecil
      Feb 24, 2009 @ 17:18:42

      @adhim
      Wa’alaikumussalam
      Iya silahkan
      untuk cerita pertama(Ali bin Abi Thalib) lupa dicantumkan bahwa itu diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A.Fillah..

      Reply

  3. Superpetruk
    Feb 26, 2009 @ 08:31:49

    Diedit lg teh trus dicantunkan asal tulisannya dr buku mana..

    Reply

  4. Gianto
    Feb 26, 2009 @ 13:03:58

    Nice Posting…sukran!
    Walaupun cinta sejati adalah tanpa definisi atau jika didefinisikan maka maknanya pun akan terdistorsi, dari kisah romantis dan heroik di atas, benar ga yah kalo ana mencoba mendefinisikan cinta itu adalah seni memendam rasa, mengungkap diwaktu yg tepat dan selalu melakukan yg terbaik untuknya, dan semua itu karena Allah semata.

    Reply

  5. chie135
    Feb 27, 2009 @ 09:03:46

    eisss… si teteh artikelnya tentang ini terus, teh… klo ada undangan, jangan lupa kasi oci, ya, teh 🙂

    ali sempat bermuka merah waktu itu (pas fatimah bilang suka seseorang sebelumnya) karena marah, tapi fatimah sendiri malah tertawa2 kecil karena bercampur senang dan malu saat terus terang… (hehe, lebay oci ni). memang banyak kisah romantis ali dan fatimah.

    bener, teh: ini juga yg menjadi dasar klo naksir itu ga terlarang and fitrah bahkan di kalangan sahabat, tapi rasa itu tetap dijaga rahasianya (ga diumbar dan direalisasikan)

    Reply

    • aisyahkecil
      Feb 27, 2009 @ 18:52:22

      @Chie..
      Awalnya mau ditambahin yang chie tulis itu..
      “ali sempat bermuka merah waktu itu (pas fatimah bilang suka seseorang sebelumnya) karena marah, tapi fatimah sendiri malah tertawa2 kecil karena bercampur senang dan malu saat terus terang… (hehe, lebay oci ni). memang banyak kisah romantis ali dan fatimah.”
      Tapi sama… khawatir lebay
      Alhamdulillah ada yang mewakili menyampaikannya ^^
      Nuhun de’

      Reply

  6. uvi07
    Feb 28, 2009 @ 20:55:23

    bismillah…

    dan fatimah; putri rasulullah pun merupakan contoh “Mitsali” bagi perempuan yang ingin mendapatkan darjat yang tinggi di hadapan Allah Subhaanahu wata’ala…
    kerana kesempurnaan akhlaqnya…
    begitu juga Ali Radliyallahu ‘anhu, beliau merupakan “Al-Bakka'” ; orang yang mudah menangis, kerana ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang pedihnya adzab neraka….

    Allahumma ij’alnaa min Zumrotihim; zumrotish shoolihiin…

    walhamdulillah

    Reply

  7. WinaWinaWina
    Mar 04, 2009 @ 13:38:49

    Subhanallah, keren-keren… Jadi speechless… Udah ga bisa komen lagi, soalnya masih nakal soal yang satu ini, hehehe…

    Reply

  8. asmafadhillah
    Mar 12, 2009 @ 17:54:38

    Subhanallah….. aku jadi terharu baca artikelnya…
    untuk para lajang… moga mendapat yang terbaik pilihanNYA…..
    SEMANGATTT…..
    oya, aku mohon izin juga untuk menempelkan artikel di atas di blog aku…. terimakasih…. 🙂

    Reply

  9. danar astuti dewirini
    Mar 20, 2009 @ 01:07:12

    kenapa harus mnta maaf d awal artikel, tri?
    berat nie artikelnya, ck3..

    @ gianto & agtri,

    cinta itu adalah seni memendam rasa, mengungkap diwaktu yg tepat dan selalu melakukan yg terbaik untuknya, dan semua itu karena Allah semata.

    ‘nya’ itu refers to siapa ya? 😕

    Reply

    • aisyahkecil
      Mar 20, 2009 @ 06:51:11

      @danar..
      Iya, mhn maaf kalau ada yg keganggu sama artikel ini Nar..

      nya = kalau mnrt agtri untuk seseorang yg sudah halal.. (bisa ortu, kakak, adik, temen2, bisa juga ut suami/istri) 🙂

      Reply

  10. Kasyfi
    Mar 20, 2009 @ 19:09:38

    teh,, artikelnya bagus..
    boleh saya repost di blog sayah?

    makasih…

    Reply

  11. mutya
    Mar 21, 2009 @ 11:24:05

    subhanallah teteh, bagus banget deh….. jadi terharu melihat keberanian Ali

    minta ijin buat link ke blog aq boleh?

    Reply

  12. Hadi Teguh Yudistira
    Mar 22, 2009 @ 09:12:59

    Ketika baca postingan ini, saya menjadi termotivasi memiliki sikap seperti Ali… Sepertinya anda mempunyai bakat menulis yang bagus… Terus “berjuang” dalam tulisan.. Oh ya, tulisan ini saya dapat dari milist lalu saya forward ke milist yang lain, dan mendapatkan tanggapan positif atas esensi tulisan ini…

    Reply

  13. masyithah
    Apr 06, 2009 @ 09:26:48

    assalamualaikum,,aisyah kcl,,,ble ana copy postingannya

    Reply

  14. me
    Jul 08, 2009 @ 13:27:21

    ada kata-kata bagus juga:
    jodoh itu pasti, udah diatur sama Allah
    yang membedakan adalah prosesnya
    apakah sesuai yang Dia inginkan atau tidak

    Reply

  15. Ash-Shabwah
    Jul 15, 2009 @ 20:03:10

    Sperti yg lain, izin copy dan sebarkan ya teh. jzkllh

    Reply

  16. sri
    Jul 05, 2011 @ 15:56:36

    izin copy ya teh 🙂

    Reply

Leave a reply to aisyahkecil Cancel reply