4 Mei 2011
Kita bertemu dalam ruang dan waktu yang sama untuk mengenal lebih jauh, ta’aruf. Malamnya saya kebingungan besok pertanyaan apa yang harus diajukan? Dan pertanyaan apa yang akan diberikan. Jadilah malam itu sibuk browsing dengan keyword yang sangat amat garing “pertanyaan ta’aruf”. Eh, ternyata ada dan banyak.. Cobalah dirangkum beberapa hal yang kiranya penting untuk ditanyakan. Dan dalam hati mengatakan, semoga dengan tidak mempersulit kelak saya juga tidak akan dipersulit dengan pertanyaan-pertanyaan beliau. Setelah siap mengantongi beberapa pertanyaan, malam itupun tidur dengan tenang.
Paginya, jadwal ta’aruf direncanakan pukul 8 pagi. Tetapi karena baru pindah tempat tinggal (sekre Salimah) agar tidak terlambat karena mencoba rute baru, saya berangkat pukul 07.15 dari sekre. Ternyata jaraknya sangat dekat dengan rumah Murabiyyah saya (biasanya memutar). Alhasil pukul 07.30 saya sudah ada di daerah rumah Murabiyyah. Malu kepagian dan nggak mungkin pulang lagi, akhirnya saya menuju masjid yang ada diseberang rumah beliau. Tapi.. Oh tidak! Seperti ada seorang ikhwan yang sedang menunduk dan membuka sepatu disana. Tanpa berusaha ambil resiko, saya ambil langkah seribu langsung menuju rumah Murabbiyyah. Menelepon beliau dan menjelaskan kondisi. Saya akhirnya menunggu di rumah Murabbiyyah. Murabbiyyah pamit sebentar keluar karena si kakak ingin beli roti di toko depan. Lama menunggu, kenapa nggak pulang-pulang beliau. Tiba-tiba ada salam, Murabbiyyah masuk bersama seorang ikhwan yang tadi saya lihat di depan masjid. Degh.. Tubuh yang awalnya biasa saja tiba-tiba jadi panas dingin. Kelu lidah seorang Agtri yang biasa ‘garang’ dan tidak kenal tendeng aling-aling ketika rapat dengan lawan jenis. Kata-kata yang keluar seperti aa..uu.. Ah..
Dipandu oleh Murabbiyyah prose situ dimulai. “Ladies first kata beliau”. Muncullah pertanyaan pertama dari saya. Kemudian setelah beliau menjawab Murabbiyyah memberi kesempatan ke beliau untuk bertanya dan beliau jawab dengan, “Mangga diselesaikan saja pertanyaan dari akhwat, dari ana hanya ada 1 pertanyaan dan 1 titipan pertanyaan dari keluarga.” Huaa.. bukan malah tenang mendengar hanya 1 pertanyaan tapi malah deg-degan dan tidak konsen mengajukan pertanyaan lanjutan. Curiga 1 pertanyaan itu adalah berapa jumlah hafalan dan saya tidak siap.. -_-“
Selesai juga pertanyaan dari saya dan sudah pula semuanya dijawab. Saatnya beliau.. Deg..deg..deg.. teringat cerita teman ada yang ditanya tentang Fiqh thaharah, harga beras di pasar, sampai diskusi sosial politik. Aduuh.. Kira-kira apa ya pertanyaannya? Ternyata…. “Apakah anti siap untuk ikut saya kemana saya pergi?” Langsung anti klimaks mendengar pernyataan tersebut.. Fiuh… “Iya, insyaAllah siap” hanya itu yang bisa saya jawab. Karena saya memang berkomitmen untuk ikut suami kemanapun suami pergi. Saya tidak ingin dan tidak siap untuk menjadi Long Distance Marriage.. lalu dilanjutkan dengan pertanyaan titipan dari keluarga yaitu “ Apakah ada pelangkahan?” Saya melangkah menikah dua orang kakak perempuan (semoga Allah senantiasa menyayangi keduanya). Dan keduanya dengan luar biasa sangat berlapang dada bahkan mensupport begitu besar sebelum dan selama kami menikah apalagi setelah qoonita lahir. Saya menjawab “Tidak ada. Karena dikeluarga tidak menggunakan adat seperti itu”. Memang dibeberapa daerah budaya pelangkahan amat kental. Bahkan apapun yang diminta oleh kakak yang dilangkahi harus dipenuhi bilapun harganya sangat mahal. Alhamdulillah kakak-kakak tidak mau diberi hadiah oleh calon suami saya (ketika itu) bahkan memberikan hadiah mesin cuci untuk kami (bageur pisan kakak-kakakku ini..)
Dan.. pertemuan pagi itu ditutup dengan rencana kunjungan beliau ke rumah satu bulan mendatang..
Setelah itu komunikasi saya lakukan selalu via Murabbiyyah termasuk kapan tanggal fix beliau akan ke rumah dan nomor beliau belum saya simpan didalam hp..
25 Mei 2011
Pagi ini beliau ke rumah untuk bertemu ibu dan bapak. Beliau datang sendirian untuk memperkenalkan diri. Lagi-lagi datang kepagian.. Saya dan ibu masih belum pulang dari pasar -_-“ (Semangat pisan Uda…)
Dimulailah pembicaraan itu, hingga muncullah kalimat dari beliau, “Iya Pak, Bu, saya kesini serius ingin melamar Agtri putri Bapak dan Ibu jika diperbolehkan..” Dan dijawab “iya” oleh Bapak. Eh, berarti ini sudah jatuh khitbah ya? Alhamdulillah..
Kemudian beliau mengatakan besok akan membawa keluarga besar untuk lamaran secara resmi. Ibu mengatakan tidak usah repot-repot. Sekarang saja kan sudah resmi lamarannya. Nanti saja keluarga hadir ketika rapat persiapan acara. Ibu malah mengajak menentukan tanggal pernikahan. Ah, cepat betul pikir saya tapi ya sudahlah.. Setelah mempertimbangkan beberapa hal akhirnya diputuskan sementara tanggal 3 September, H plus 3 Idul Fitri. Berharap mendapatkan keberkahan pernikahan di bulan Syawal dan juga mengingat keluarga besar yang masih berkumpul di Idul Fitri.
Setelah pertemuan tersebut nyaris tidak ada lagi pertemuan dengan beliau hingga menjelang hari H. Kecuali satu kali, tante yang di Surabaya ingin bertemu dengan beliau, jadilah kami bertemu di taman ganesha dengan kucing-kucingan khawatir terpergok teman-teman yang lain. Khawatir terjadi fitnah.
Komunikasi pasca khitbah dipercayakan oleh Murabbiyyah untuk langsung kami lakukan, dengan titipan tetap wara’ pada pengawasan Allah, waspada, dan hati-hati. Komunikasi kami lakukan via sms atau beberapa kali email untuk hal yang banyak. Diskusi lebih banyak pada teknis pembuatan undangan, progress souvenir, pembelian seserahan, dan konsep serta juklak hari-H. Awal-awal komunikasi masih sanggup membendung perasaan. Lama-lama saya sadar, saya perempuan. Saya lemah dengan perasaan. Makin lama makin melemah, sebelum terseret lebih jauh saya mengambil jalan aman. Saya butuh orang ketiga. Betapa merepotkan jika meminta bantuan Murabbiyyah lagi. Akhirnya saya putuskan meminta bantuan ibu dan kakak perempuan pertama untuk menjadi mediator. Rasa “itu” mulai muncul, saya coba untuk enyahkan, tapi tidak bisa. Menguping ketika kakak dan ibu saling telpon dengan beliau malu-malu saya lakukan. Sulit. Sulit sekali rasanya. Paling tidak jangan sampai beliau tahu tentang rasa “itu”.
Perjuangan pasca khitbah yang begitu menyita perasaan semakin mendekati akhir. 3 September 2011. Akhirnya akad itu terucap. Sederhana, namun kokoh. Pasca akad dilakukan, beliau menjemput saya yang menunggu di dalam kamar untuk ikut duduk dan menandatangani buku nikah. Setelah itu beliau memberikan hadiah tasmi surat Ar-Rahman yang dibacakan dengan tartil. Panas dingin rasanya. Lalu kami keluar untuk bertemu tamu.
Memisahkan tamu laki-laki dan perempuan bukan hal yang lumrah disekitar kami. Pesimis awalnya apalagi dengan keterbatasan lahan di rumah tetapi ibu meyakinkan bisa dilakukan. Dan Alhamdulillah memang bisa dilakukan. Kursi pun banyak sehingga tamu tidak harus standing party. Musik tidak menggunakan orgen tunggal ataupun band tetapi menggunakan mp3 lagu-lagu nasyid. Kamipun tidak harus bersalaman dengan yang bukan mahram. Alhasil ketika istirahat sholat dzuhur bisa langsung sholat karena masih ada wudhu.
Alhamdulillah..
Alhamdulillah..
Alhamdulillah..
Segala puji hanya untuk-Nya..
Benarlah janjinya bahwa kemudahan dan kecukupan akan diberikan kepada orang-orang yang berniat menjaga diri dengan menikah..
Janganlah ragu..
Cerita ini saya persembahkan kepada semua yang belum, sedang ataupun sudah menjalani proses pernikahan..
Bagi belum menjalani prosesnya.. Bersabar dan bersyukurah.. sesungguhnya pasangan kita sudah Allah persiapkan. Kesabaran, kesungguhan dalam menjaga diri selama masih sendiri percayalah akan Allah balas dengan sebaik-baiknya. Jika kita pandai menjaga diri dan kehormatan, yakinlah seseorang disana juga akan menjaga dirinya. Jangan pernah menurunkan standar diri dan keimanan karena khawatir tidak mendapatkan pasangan. Namun berdo’alah agar seseorang disana juga sedang terus berproses memperbaiki diri agar pas dan klop dengan mu. Percayalah bahwa Allah sesuai persangakaan hamba-Nya. Berprasangka baiklah kepada Allah sambil terus melayakkan diri..
Bagi yang sedang menjalani proses.. Bersabar dan bersyukurlah.. sesungguhnya banyak kegundahan yang akan terjadi. Wajar, syaitan tidak akan membiarkan kita.. Sebelum akad itu terucap sadarlah kalian belum menjadi apa-apa jadi berhati-hatilah. Banyak keraguan yang mungkin muncul, tanyalah kepada hati apakah alasannya syar’I atau hanya guncangan dalam hati. Maka kokohkanlah keimanan dan titipkan seseorang disana hanya pada-Nya. Sungguh kita tidak punya kuasa untuk menjaga hati seseorang disana maka titipkanlah kepada penguasa-Nya
Bagi yang sudah menikah.. Perjalanan ini baru awalan.. Awalan untuk merajut jalan kita untuk menuju Jannah-Nya.. Mencintailah sewajarnya, titipkan selalu ia kepada Allah. Agar tetap dalam keimanan dan keislaman.. Ah.. saya belum layak menasehati di usia pernikahan yang masih amat dini ini. Masih terlalu banyak hal yang harus saya pelajari dan perbaiki. Mari melangkah bersama…
Komen Terakhir