Politisi — Expertokratis

Untukmu yang duduk sambil diskusi/Untukmu yang biasa bersafari/Di sana di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat/Bukan kumpulan teman-teman dekatApalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap/Suara kami tolong dengar, lalu sampaikan/Jangan ragu jangan takut karang menghadang/Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Di kantong safarimu kami titipkan/Masa depan kami dan negeri ini/Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan dilotre/Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara/Juara diam, juara he’eh juara ha… ha…ha!

Untukmu yang duduk sambil diskusi/Untukmu yang biasa bersafari/Di sana di gedung DPR

Di hati dan lidahmu kami berharap/Suara kami tolong dengar, lalu sampaikan/Jangan ragu jangan takut karang menghadang/Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu sidang soal rakyat/Wakil rakyat bukan paduan suara/Hanya tahu nyanyian lagu setuju

(Surat buat wakil Rakyat- Iwan Fals)

Pilihan hidup berdemokrasi saat ini membuat alur informasi dan segalanya menjadi lebih terbuka.
setiap orang akan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih mudah.
Memang menarik pembahasan mendasar mengenai demokrasi itu sendiri.
Hanya saja pada tulisan ini, saya ingin merepons kondisi yang terjadi saat ini terjadi di negara kita, Indonesia.

Salah satu konsekuensi dari pemilihan sistem demokrasi di negara kita adalah dengan partai politik.
Partai politik digunakan sebagai corong yang dianggap sebagai perwakilan masyarakat.
Tetapi sejauh ini, keberterimaan masyarakat akan adanya para anggota dewan yang merupakan perwakilan dari parpol tertentu ternyata masih rendah.
Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi salah satunya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap anggota dewan yang mereka pilih.
Karena apa?
Kita tidak pernah tahu, “kemampuan” apa yang sebetulnya dimiliki oleh para Caleg kita.
Mengingat, tidak semua Parpol punya pemilihan yang sifatnya selektif ketika akan meng-gol kan calegnya (Hayo ngaku… Betul nggak?)
Bahkan ketika pemilu legislatif 2009 kemarin, tidak sedikit caleg yang lebih “sensi” dengan “teman” se partainya ketimbang dengan caleg parpol lain.
Karena jika “teman” separtainya lebih banyak mendapatkan suara, otomatis suara perolehan suara Ia sendiri akan menjadi lebih sedikit.


Ironis memang.
Dengan adanya kondisi “sah” dengan memilih partainya saja walaupun kita tidak memilih nama calegnya, fenomena “caleg hantu” juga akan semakin merajalela. Caleg hantu yang dimaksud adalah siapapu yang dipercaya oleh partai unutk bisa mendapatkan suara “via partai” bisa maju.. Alhasil? Kita betul2 menggantungkan pada hati nurani partai untuk bisa memajukan Aleg yang paling berkompeten untuk bisa masuk gedung dewan.

Nah belum lagi kekecewaan masyarakat melihat bagaimana kinerja para anggota dewan yang dari sisi output (berupa regulasi) menurun secara kuantitas (entah kalau kualitas, tapi kalau undang-undang yang mendominasi adalah dibidang politik sedangkan undang-undang yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat menurun. Menurutmu???) dibandingkan pada periode sebelumnya (terlepas bagaimana sulitnya untuk pembahasan mengenai regulasi itu sendiri-data).

Yang paling mengkhawatirkan adalah mengenai “kapasitas” dari para anggota dewan itu sendiri.
Dengan (maaf) latar belakang keilmuan yang belum bisa dijamin kepastiannya, meraka punya hak suara dalam penentuan kebijakan.
Oleh karena itu, ketika para ahli sebelumnya sudah membuat draft usulan kebijakan yang ‘sempurna’, akhirnya pada implementasinya bisa akan sangat jau……h sekali.

Melihat kondisi ini, sudah lama saya bertanya,
Mengapa tidak, para ahli yang menjadi pemegang regulasi?==> inilah ekpertokratis yang dimaksud.  Sehingga ketika ada pengambilan keputusan bisa lebih ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan bukan hanya berdasarkan intuisi semata.

Pertanyaan tersebut saya lontarkan pada salah satu kuliah dan mendapatkan sebuah persepektif baru terkait hal ini. Ada 3 pertimbangan ketika para ahli (selanjutnya akan dgunakan istilah expert) akan dijadikan pemegang keputusan terkait kebijakan:
1. Jangan sampai expert menjadi suatu otoritas. Karena terkadang para expert saking ilmiahnya lupa untuk bisa memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam kebijakannya (-red-ini mah tergantung orangnya…)
2. Para expert sulit menahan ego satu sama lainnya, sehingga bisa jadi suatu pembahasan terkait sesuatu akan jauh lebih lama dan rumit dibandingkan masyarakat umum (-lebih bagus para expert yang “ribut” pakai kemampuannya dan data ketimbang yang bisa jadi “tidak tahu apa-apa” yang ribut satu sama lain)
3. Iklim demokrasi akan menjadi tidak sempurna karena ketika para ahli saja yang dilibatkan maka keterlibatan masyarakat seolah menjadi tereduksi (-red- kalau demokrasi membuat masyarakat menjadi manja karena semua keinginannya harus dipenuhi. Kapan negeri ini dewasanya ya?)

Terkait “ahli” ini, saya teringat dengan film Change yang bercerita mengenai seseorang yang pada mulanya tidak terkait politik kemudian menjadi anggota parlemen di Jepang (hehehe.. diulangi lagi bahas film ini).
Menariknya adalah ketika ada sesi debat ketika Takuya Kimura akan maju menjadi calon perdana menteri, semua calon asyik berdebat dengan kapasitasnya yang memang mungkin untuk sebagian orang ketika menonton debat itu, membuat dahi berkerut, mulut agak terbuka, alis naik sebelah (agak berlebihan..) karena tidak mengerti apa yang saat itu sedang didebatkan.
Lalu Takuya Kimura(pemeran utama) hanya mengatakan bahwa “sebetulnya apa yang Anda-anda lakukan disini? Orang-orang luar sana bisa jadi tidak mengerti sama sekaili apa yang sebetulnya Anda-anda katakan”.
Dan sebuah pencitraan yang dimunculkan di film itu adalah ketika itu masyarakat merindukan sosok politikus yang bisa down to earth. Berpikir, bertindak, merasa seperti masyarakat biasa. Dan hal tersebut seolah sesuatu yang amat langka disana ketika para expert yang ‘menguasai’ kebijakan.

Nah ada dua kondisi:
1. kondisi dimana kapasitas anggota dewan diragukan ketika latar belakangnya adalah partai politik bukan bidang keilmuan tertentu
2. ketika para ahli yang tampil menjadi pemegang kebijakan, bisa2 “ketinggian” untuk bisa dicerna masyarakat serta nilai-nilai kemanusiaan bisa jadi tidak menjadi prioritas

Menyikapi hal tersebut, mencoba untuk mengkombinasikan kedua kondisi tersebut.
Saat ini kita tidak banyak menemukan expertokratis yang ada di dewan, walaupun saya tahu bahwa sudah ada expertokratis di dewan saat ini.
Tetapi kita membutuhkan lebih banyak lagi expertokratis  yang masuk ke dewan dan menggunakan keahilannya tersebut untuk bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Tulisan ini juga mengajak kita semua
wahai para pemuda, masa depan adalah zaman kita.
Inilah realita yang terjadi saat ini,
bagaimana salah satu perbaikan yang bisa dilakukan adalah dengan menjadi salah satu anggota dari pemegang kebijakan tertinggi.
Amat sangat dibutuhkan para expert yang mau turun ke ranah pemangku kebijakan..

Inilah saatnya mengubah Indonesia..
dengan melahirkan para expert..
yang bukan hanya ahli di bidangnya tetapi juga bisa peka dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Bukan hanya menjadi “ahli” yang berbicara normatif dan kosong sehingga sulit untuk diterima masyarakat.
Jadilah expert dibidang kita masing-masing dan gunakan keahlian itu agar bisa membangun Indonesia yang lebih baik.
Paling tidak 10 tahun lagi, semoga sudah ada gerak massal dimana kita bisa jumpai para anggota dewan pemegang kebijakan publik adalah para expert.

Mungkin itu aku?
Mungkin itu kamu?
bukan..
Tak cukup hanya beberapa..
Bagaimana jika kita?

2 Comments (+add yours?)

  1. Vee
    May 08, 2009 @ 16:48:27

    Aminn…. kalo bisa sih 5 tahun lagi… kelamaan 10 tahun.. 🙂

    Tapi kalo menurutku sih, expert2 yg peka & bermanfaat bagi masyarakat itu udah banyak….

    cuma, bagaimana cara mereka bisa masuk ke anggota dewan, kalo :

    1. mereka sendiri ga mau terlibat ke pemerintahan ??? Seperti kata banyak orang, “ga perlu jadi anggota Dewan untuk memberikan kontribusi kepada rakyat & negara…”

    2. misalnya para expert itu hanya mau menunggu panggilan(gak mau terjun sendiri), gimana caranya mereka bisa dicari kalo partai2 yg ada sekarang gak melihat Caleg-Caleg mereka dari segi ke-ahliannya ?
    *mau lulus SD kek, ga pernah sekolah kek, ijazah palsu kek, asal ada duit, “GOL” ….

    **Just my 2 cents…

    Reply

    • aisyahkecil
      May 08, 2009 @ 17:14:19

      @Vee (????)
      5 tahun lagi temen2 mungkin udah S2,
      tapi punya pengalaman lapangan bukan hanya teori juga sesuatu yg amat berharga untuk membangun negeri ini
      Makanya ditulis 10 tahun lagi.. =D
      nah itu dia, expert itu udah banyak.. tapi seberapa banyak yg mau ‘berkorban’ jadi anggota dewan/masuk pemerintahan?
      Yah ditunggulah apalagi yang lulusan ***
      jangan lupa balik lagi ke negeri pertiwi ya..
      walaupun jelas mungkin lebih enak disana dibanding disini..

      Reply

Leave a comment